Keluarga Mangku Warta Dikucilkan, Begini Kata Kelihan Adat
GOOGLE NEWS
BERITAGIANYAR.COM, UBUD.
Pengaduan dari pemangku Ketut Warka terkait kanorayang ke Pelayanan Komunikasi Masyarakat (Yankomas) Kanwil Hukum dan Hak Asasi Manusia Bali, langsung ditindaklanjuti.
Rabu siang (19/1), di Kantor Desa Taro, dari Yankomas hadir meminta keterangan prajuru Desa Adat Taro Kelod yang menjatuhkan sanksi adat kepada keluarga Warka.
Usai pertemuan, Kepala Bidang Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Hukum dan HAM Bali, Rita Rusmarti, dari pihak Ketut Warka yang beralamat di Banjar Taro Kelod, Desa Adat Taro Kelod, mengadu pada 6 Januari 2022.
“Menyampaikan bahwa mereka merasa didiskriminasi. Yakni air subak dengan ledeng (air minum di rumah diputus, red),” ujar Rita.
Berdasarkan laporan dari Warka itu, pihak Yankomas hadir di Kantor Desa Taro untuk mengklarifikasi laporan. “Kami mencari informasi, dari adat apa yang diinginkan untuk kami sampaikan. Harapan kami terjadi rekonsilisasi. Hasil hari ini, kami menerima masukan dari prajuru adat. Bahwa dari awalnya permasalahan sudah ada. Hasilnya, ada beberapa keinginan dari adat, kepada si penyampai komunikasi ke kami (Warka, red),” ujarnya.
Lebih lanjut Rita mengungkapkan upaya dari Yankomas mediasi untuk damai. “Maksimal damai. Kalau tidak bisa silahkan,” ujarnya.
Nah, poin permintaan dari Desa Taro Kelod, kemudian akan disampaikan ke pihak Warka. Dari Yankomas berharap keduanya bisa berdamai.
Sementara itu, Kelian Adat Taro Kelod, Wayan Wangun, menyatakan sanksi adat yang diberikan Ketut Warka dan keluarganya berlatar belakang sengketa lahan tanah antara Ketut Warka menggugat Nyoman Sabit.
“Yang digugat itu adalah tanah adat. Bisa kami buktikan tanah adat,” tegas Wangun.
Dibeberkan, jika yang berada di atas tanah adalah keluarga Nyoman Sabit. Sabit mengikuti hak dan kewajiban di desa.
“Yakni membayar peturunan dan melaukan ayahan. Kedua, sertifikat yang ditempati Sabit dan keluarga adalah milik adat dengan bukti sertifikat atas nama desa adat,” ujarnya.
Yang kedua, kelian membantah keluarga Mangku Warka menang dua kali di pengadilan. “Itu tidak benar. Itu adalah NO. Kami dari desa adat belum sempurna menggugat. Disuruh memperbaiki. Kami disuruh mengulang. Gugatan kami dikatakan belum sempurna,” ujarnya.
Kemudian, keluarga Warka dinilai telah mencuri atau menjarah hasil kebun di atas tanah yang merupakan tanah milik desa adat.
“Ketiga, menyebabkan dua warga kami Wayan Merta dan Wayan Induk kena sanksi adat. Karena mereka memberikan keterangan palsu di pengadilan. Buktinya, mereka mengakui memberikan keterangan palsu di pengadilan,” ujarnya.
Mengenai status pemangku, Warka yang mengundurkan diri. “Bukan dari krama memberhentikan,” bantahnya.
Kemudian pengakuan mandi menggunakan air hujan, dinilai tidak benar. “Dia sendiri punya sumur bor. Dia mencoba membuat sumur bor di pekarangan kami larang karena dia tinggal di tanah adat, dibuktikkan dengan sertifikat milik adat,” jelasnya.
Meskipun disanksi adat, pihak prajuru masih memberikan penngampunan. “Kalau Ketut Warka mau kembali, atau dikembalikan hak dan kewajibannya, supaya mengikuti awig,” harapnya.
Intinya kepada Ketut Warka dan keluarga, kalau mau kembali, diberikan kesempatan. “Kami cuma melanjutkan hukum di Taro Kelod. Kami selaku prajuru, pengayah, menjalankan awig maupun dresta (tradisi, red). Termasuk menjalankan segala isi awig,” tutup dia.
Editor: Robby Patria
Reporter: bbn/Gin