search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Legenda Bulan Jatuh di Pejeng: Teknologi Alien Misterius?
Rabu, 7 Juli 2021, 11:10 WITA Follow
image

beritabali.com/gede hartawan/Legenda Bulan Jatuh di Pejeng: Teknologi Alien Misterius

IKUTI BERITAGIANYAR.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITAGIANYAR.COM, UBUD.

Gudang arkeologi dan sejarah Bali kuno memang ada di Pejeng, sebuah desa berusia 1.200 tahun di Gianyar, Bali. Ada sebuah cerita rakyat Bali yang terkenal mengenai Pejeng. 

Banyak orang Bali mengenal nama Pejeng dari cerita orang-orang desa zaman dahulu. Pejeng selalu dikait-kaitkan dengan bulan jatuh. Jadi, istilah bulan ulung di Pejeng ‘bulan jatuh di Pejeng’ adalah frasa ikonik tradisional yang melambungkan nama Pejeng ke seantero Bali.

Konon pada suatu ketika, sosok benda bundar yang terang jatuh di Desa Pejeng, berpendar lembut persis rembulan. Benda bundar itu tersangkut di pohon dan menerangi seluruh desa. Karena cahayanya lumayan terang, orang-orang tidak perlu memasang lampu minyak lagi. Namun demikian, ‘bulan jatuh’ ini menyebalkan bagi para pencuri. Mereka tidak bisa beraksi kala malam. 

Seorang pencuri nekad memanjat pohon kepuh (Sterculia foetida) di mana benda bundar itu tersangkut, mengencingi benda bersinar itu agar cahayanya padam. Alih-alih memadamkan cahayanya, air kencing maling itu malah membuat benda itu meledak. Habislah nyawa si garong. 

Keesokan harinya, penduduk menemukan sebuah nekara raksasa berbahan perunggu di lokasi kejadian. Nekara ini,—yang wujudnya persis drum raksasa—kini disimpan di Pura Panataran Sasih, Pejeng. Wujudnya bundar sempurna, nyaris seperti bulan purnama. Orang-orang percaya bahwa nekara itu adalah ‘bulan jatuh’ yang sinarnya telah padam. 

Secara historis, legenda bulan jatuh ini memang terlalu fantastis. Dr. Goris, arkeolog kondang Belanda yang mengabdikan dirinya di UNUD melakukan penelitian pada benda purbakala ini. Dia mengajak kawan-kawan arkeolog dari negeri kincir angin untuk melakukan investigasi penanggalan karbon. 

Tahun dibuatnya nekara itu berkisar antara 2.000 hingga 2.100 tahun dari sekarang. Dr. Goris menyimpulkan bahwa ‘bulan Pejeng’ itu adalah warisan zaman perunggu dari Dong Son, Vietnam. Ini kesimpulan sementara Dr. Goris kala itu.

Hal yang menggelitik rasa ingin tahu adalah bahwa motif nekara Pejeng sama sekali berbeda dengan motif-motif nekara sejenis hasil karya kebudayaan Dong Son. Arkeolog hingga kini belum bisa menemukan dengan cara apa nekara itu dibuat,—apakah ditempa, dicetak dengan cetakan batu atau dicetak dengan lilin sarang lebah (wax).  Yang jelas, motif nekara ‘bulan Pejeng’ adalah satu-satunya di dunia dan tidak ditemukan pada artefak sejenis dari kebudayaan Dong Son. 

Bali dan Indonesia boleh bangga: hingga kini ‘bulan Pejeng’ dinobatkan sebagai warisan artefak zaman perunggu terbesar di dunia. 

Anomali kedua mengenai keberadaan ‘bulan Pejeng’ ini adalah legenda yang terlalu fantastis. Apabila diteliti, legenda ‘bulan Pejeng’ mulai berakar pada abad kesebelas saat Bali diperintah oleh Raja Udayana Warmadewa. Yang menjadi hal yang cukup fantastis adalah bahwa orang-orang pada abad kesebelas itu berbicara mengenai sebuah ledakan yang menewaskan seorang maling. 

Tidak ada kompor gas saat itu, tidak ada BBM, apalagi bom. Mesiu baru dibawa oleh orang Cina ke Jawa pada abad ketiga belas. Apabila itu adalah sebuah ledakan mesiu, siapa yang menyimpan mesiu bercahaya di atas pohon besar dan meledak jika dikencingi?

Kisah ‘bulan jatuh’ di Pejeng ini ternyata ada hal ikhwalnya, yang berawal di angkasa raya. Suatu ketika terdapat benda bundar di angkasa, yang selalu mengikuti ke mana pun bulan pergi. Orang-orang menyebut benda bundar yang cahayanya mirip bulan itu sebagai roda kereta yang menarik bulan di jalurnya. Suatu hari, entah karena poros rodanya yang keropos terkena korosi luar angkasa atau si pengemudinya lupa membeli gas nitrogen,—roda kereta itu lepas dan jatuh ke Bumi. Roda kereta inilah yang menjadi ‘bulan jatuh’ di Pejeng.

Apabila legenda bulan jatuh di Pejeng ini murni mitos, maka kisah ini adalah sebuah hasil imajinasi tingkat tinggi pada abad kesebelas. Dalam kenyataannya, penulis-penulis fiksi terkenal pun mendapatkan imajinasi karya tulisnya dari sesuatu yang pernah mereka lihat atau alami. Biasanya, semakin detail imajinasi seseorang, maka itu berarti bahwa dia bisa mengaitkan, menggabungkan dan mengembangkan kilasan pengalaman nyatanya dengan cara yang unik. Berdasarkan hal itu, mungkinkah legenda ‘bulan jatuh’ di Pejeng ini adalah sebuah citra dari pengalaman nyata yang benar-benar terjadi kala itu? (Penulis: Arya Lawa Manuaba)

 

Editor: Robby Patria

Reporter: bbn/Gin

Banner

Iklan Sponsor



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritagianyar.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Gianyar.
Ikuti kami